Jumat, 14 Mei 2010

kajian teori Bank syariah

Kajian Teoritis Bank Syariah

Pendahuluan

Bank syariah, atau Bank Islam, merupakan salah satu bentuk dari perbankan nasional yang mendasarkan operasionalnya pada syariat (hukum) Islam. Menurut Schaik (2001), Bank Islam adalah sebuah bentuk dari bank modern yang didasarkan pada hukum Islam yang sah, dikembangkan pada abad pertama Islam, menggunakan konsep berbagi risiko sebagai metode utama, dan meniadakan keuangan berdasarkan kepastian serta keuntungan yang ditentukan sebelumnya. Sudarsono (2004), Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu-lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah. Menurut ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Bank Indonesia nomor2/8/PBI/2000, pasal I, Bank Syariah adalah “bank umum sebagaimana yang dimaksud dalam undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan dan telah diubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998 yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, termasuk unit usaha syariah dan kantor cabang bank asing yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah”. Adapun yang dimaksud dengan unit usaha syariah adalah unit kerja di kantor pusat bank konensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang syariah.

Terdapat perbedaan mendasar antara bank konvensional dan bank syariah. Pertama, dari segi akad dan aspek legalitas. Akad yang praktikkan dalam bank syariah memiliki konsekwensi duniawi dan ukhrawi, dunia dan akhirat, karena akad yang dilakukan berdasarkan hukum atau syari’at Islam. Jika terjadi perselisihan antara nasabah dan bank, maka bank syariah dapat merujuk kepada Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) yang penyelesaiannya dilakukan berdasarkan hukum Islam. Kedua, dari sisi struktur organisasi, Bank Syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konvensional, namun unsur yang membedakannya adalah bahwa bank syariah harus memilki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional dan produk-produk bank agar sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’ah Islam. Eksistensi Dewan Syariah di dalm struktur organisasi bank syariah adalah wajib, bahkan bagi setiap bank yang bersekala kecil sekalipun, seperti Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) atau Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) harus mempunyai Dewan Pengawas Syariah. Ketiga, berkenaan dengan bisnis dan usaha yang dibiyai, haruslah bisnis dan usaha yang diperkenankan atau dihalalkan oleh syari’at Islam. Kehalalan bisnis dan usaha merupakan syarat mutlak agar suatu bidang usaha itu halal untuk dibiayai oleh perbankan syariah. Karena itulah, secara langsung atau tidak langsung perbankan Islam tidaklah semata-mata merupakan institusi ekonomi, tetapi juga sebagai institusi yang ikut bertanggung jawab menjaga moral dan akhlak masyarakat. Keempat, berkaitan dengan lingkungan kerja dan budaya perusahaan perbankan (Corporate culture). Dalam hal etika, sifat shiddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas, professional) dan tabligh (komunikatif, ramah, keterbukaan) harus melandasi setiap tindakan para pelaku perbankan syariah. Dalam hal reward and punishment yang berlaku dalam perbankan syariah dipraktikkan dengan prinsip berkeadilan dan sesuai dengan syari’ah.

Dengan demikian, perbankan syariah adalah perbankan yang beroperasi atas dasar prinsip-prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah merupakan aturan dasar atau pokok yang berdasarkan hukum Islam. Prinsip ini menjadi landasan dan acuan dalam mengatur hubungan antara perbankan dan pihak-pihak lain serta di dalam usaha menghimpun dan menyalurkan dana dan aktivitas perbankan syariah lainnya. Selain itu, dalam operasional perbankan syariah pada prinsipnya dapat melakukan kegiatan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan petunjuk dan ketentuan syari’ah, peraturan perundang-undangan yang berlaku serta persetujuan Bank Indonesia dan Dewan Syariah Nasional.

Schaik (2001) mengemukakan bahwa terdapat tujuh prinsip ekonomi Islam yang menjiwai bank syariah, yaitu: (1) keadilan, kesamaan dan solidaritas; (2) larangan terhadap objek dan makhluk; (3) pengakuan kekayaan intelektual; (4) harta sebaiknya digunakan dengan rasional dan baik (fair way); (5) tidak ada pendapatan tanpa usaha dan kewajiban; (6) kondisi umum dari kredit (meliputi; pertama, peminjam yang mengalami kesulitan keuangan sebaiknya diperlakukan secara baik, diberi tangguh waktu, bahkan akan lebih baik bila diberi keringanan, dan kedua, terdapat beberapa perbedaan pendapat mengenai hukum selisih antara kredit dan harga spot, ada yang berpendapat bahwa itu adalah suku bunga implisit dan ada juga yang berpendapat bahwa hal tersebut dibolehkan untuk mengakomodasi biaya transaksi - bukan biaya dari pembiayaan; dan (7) dualiti risiko, di satu sisi sebagai bagian dari persetujuan kredit (liability) usaha produktif yang merupakan legitimasi dari bagi hasil, di lain sisi risiko sebaiknya diambil secara hati-hati, risiko yang tak terkontrol sebaiknya dihindari.

Perbedaan Antara konsep Bunga Bank dan Riba

Secara rasional, adakah madharat sistem bunga ini lebih besar dibandingkan dengan manfaat yang diraih? Menurut M. Umer Chapra (2000), alasan di balik pelarangan bunga mungkit sulit untuk dipahami, kecuali bila dalam memahaminya itu selalu mempertimbangkan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan substantif penerapan syari’at Islam) itu sendiri. Konsekwensi dari pernyataan tersebut adalah bahwa strategi yang akan dijalankan dalam perbankan haruslah sesuai dengan tujuan syari’ah, karena bila tidak, maka tujuan tersebut tidak akan dapat diwujudkan. Adapun tujuan syari’at Islam dimaksud adalah keadilan. Perbedaan konseptual antara dua hal yaitu riba dan bunga seringkali kurang jelas. Riba secara literal berarti semakna dengan kata ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain secara linguistik, riba berarti tumbuh dan membesar. Menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara tidak sah (bathil).

Terdapat beberapa pendapat dalam menjelaskan hakekat riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam traksaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Berkaitan dengan ini Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil … (Q.S. An-Nisa’ (4):29).

Menurut Ibn al-Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkam al-Qur’an, pengertian al-bathil dalam ayat di atas adalah sebagai berikut: “riba secara bahasa berarti tambahan, namun yang dimaksud riba dalam Al-Qur’an adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan oleh syari’ah”.

Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya penambahan sersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai sewa, atau bagi hasil dan kerugian dari sebuah usaha bisnis atau proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa kaena adanya manfaat sewa yang dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatau barang karena digunakan oleh penyewa. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya. Demikian pula dalam transaksi bagi hasil dalam sebuah usaha, semua pihak yang terlibat dalam usaha tersebut berhak mendapatkan kaeuntungan karena di samping menyertakan modal juga ikut serta menanggung resiko kerugian yang dapat terjadi setiap saat. Demikian itu didasarkan pada kenyataan yang rasional bahwa modal/uang tidak mungkin dapat berkembang dengan sendirinya karena faktor waktu semata tanpa dibarengi kerja dan usaha untuk mengembangkan modal tersebut Hanya saja, memastikan seberapa besar perkembangan modal usaha (keuntungan) tersebut dan atau resiko kerugiannya adalah bertentangan dengan ‘aqidah tauhid, karena menyangkut masa depan yang bisa memastikan nasib baik buruk hanya Allah saja.

“Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu: “Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah”Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”.(Q.S. al-Kahfi (18):23).

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S.Luqman (31):34)

Pengertian yang sama menyangkut makna riba juga telah disampaikan oleh berbagai ulama dari berbagai madzhab fiqih Islam. Badr al-Diin al-Ayni, pengarang kitab ‘Umdat al-Qaari Syrh al-Shahiih al-Bukhaariy, menyatakan: “Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syari’ah, riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis yang riil”. Al-Imam Sarakhasi dari madzhab hanafiah berpendapat: “Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (padanan) yang dibebankan syari’ah atas penambahan tersebut”.

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu riba utang-piutang (ribaduyun) dan riba jual-beli (riba buyu’). Riba utang piutang terbagi menjadi riba qaradh dan riba jahiliyah. Adapun riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba qardh adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. Adapun riba jahiliyah yaitu utang yang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba duyun misalnya terjadi ketika kreditur setuju untuk memberikan kelonggaran debitur menunda pembayaran dari hutang sebelumnya dan sebagai gantinya adalah penambahan sejumlah nilai saat debitur mengembalikan hutangnya. Riba fadhl yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mitslan bi mitslin), sama kuantitsnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung unsure gharar, yaitu ketidak jelasan bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan seperti ini dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak atau berbagai pihak yang lain. Riba nasi’ah yaitu riba yang timbul akibat hutang piutang yang tidak memenuhi kriteria. Untung muncul bersama resiko kerugian (al-ghunmu bi al-ghunmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi al-dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu. Nasi’ah berarti penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi, alghunmu (untung) muncul tanpa adanya al-ghurmi (resiko), hasil usaha (al-kharaj) timbul tanpa adanya biaya (al-dhaman). Jadi, al-ghunmu dan al-kharaj diperoleh karena hanya berjalannya waktu.

Di dalam Hadis dikemukakan riba yang dipratikkan dalam berbagai transaksi penjualan, baik dalam bentuk pertukaran, maupun kredit (pembiayaan berangsur). Untuk riba yang terjadi di dalam pertukaran antara dua komiditi yang berbeda dengan tingkat kualitas yang jauh berbeda disebit riba fadhl. Jika pertukaran tersebut terjadi dengan kualitas yang sama, maka bukan riba fadhl dan itu dibenarkan. Contih riba fadhl adalah 1 Kg komoditi kurma berkualitas tinggi ditukarkan dengan 2 Kg gandum berkualitas yang berbeda; lebih tinggi atau lebih rendah dari kualitas 1 Kg kurma tersebut.Dalam kaitan ini umumnya pihak bank konvensional mengklaim bunga sebagai pengganti dari biaya enam komponen yang ditimbulkan akibat dari transaksi peminjaman, yaitu: bunga yang dibayarkan kepada pemilik dana (dalam hal ini pihak ketiga yang memberikan dana investasi kepada bank), biaya jasa, biaya penyusutan, premi resiko, konpensasi dari inflasi, renumerasi terhadap bank dalam penyediaan jasa. Dari pengertian tersebut pihak bank hanya sebagai perantara antara si peminjam dan pemilik dana. Menurut Abu Ahmad Akif, riba adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara literal berarti peningkatan, baik positif maupun negatif. Di dalam Al-Qur’an istilah ini digunakan juga dalam arti peningkatan yang positif (yurbi al-shadaqat; dalam Q.S.Al-Baqarah (2):276). Pernyataannya yang lebih tegas adalah:

1. Bunga adalah riba yang jelas dilarang oleh agama Islam, tidak peduli dalam bentuk nama apapun atau pendiskripsian apapun.

2. Keuntungan dari pinjaman apapun adalah haram, meskipun pinjaman itu digunakan untuk konsumsi ataupun produksi.

3. Riba adalah dilarang tanpa melihat kualifikasi atau tingkatannya, dan semua tingkatan riba termasuk dalam segala jenis bunga.

4. Bunga dalam tingkatan apapun yang melampaui 0% adalah riba dan itu dilarang oleh syari’at Islam.

Pelarangan riba yang muncul di dalam hukum Islam klasik, bukanlah semata-mata sebagai upaya untuk mencegah kaum kaya mengeksploitasi kaum miskin (Muhammad al- Gamal, 1998). Berkaitan dengan hal tersebut, isu mengenai riba ini menjadi kontroversial. Ada yang berpendapat bahwa perbankan konvensional yang mengembangkan bunga sebagai bagian keuntungan dari pertumbuhan investasi bukanlah merupakan riba yang dilarang. Argumen ini tidak hanya berkembang dari minimnya pemahaman mengenai riba yang dilarang berdasrkan alasan eksploitasi, tetapi juga mengabaikan fakta bahwa banyak praktik riba terjadi di negara-negara Islam di jazirah Arab yang terjadi dalam perdagangan komersial maupun pembiayaan.

Namun demikian masih banyak perbedaan pendapat mengenai bunga dan riba. Tidak dapat disangkal lagi bahwa bunga atas pinjaman adalah riba al-nasi’ah yang dilarang. Istilah bunga bagaimanapun telah digunakan dalam istilah ekonomi dan dipraktikkan di dalam kehidupan sehari-hari. Para ekonom muslim mengakui bahwa istilah bunga adalah istilah yang telah dikenal secara umum, sehingga mendorong mereka untuk mengklaim bahwa Islam tidak menerima nilai waktu dari uang (time value of money). Banyak sumber tulisan dari ekonom muslim yang menggarisbawahi pertanyaan apakah Islam mengakui atau tidak mengenai nilai waktu uang tersebut, dan banyak yang mengkategorikannya tidak menerima. Pernyataan kontroversial tersebut oleh beberapa ilmuan muslim kemudian dijawab bahwa Islam tidak mengakui nilai waktu uang tetapi Islam mengakui bahwa waktu memiliki kontribusi pada nilai harga” (li al-zaman hadldlun fi al-tsaman). Sesungguhnya para ahli hokum Islam telah berupaya meletakkan basis kelembagaan keuangan Islam yang telah beroperasi dalam tahun-tahun terakhir yang didasarkan pada prinsip mudharabah dan ijarah. Penambahan nilai yang diperoleh dari sitem bunga dalam bank konvensional ditetapkan sebagai nilai konpensasi kepada jasa terhadap pedagang, atau jasa perantara keuangan. Meskipun pada kenyataannya perusahaan keuangan yang sama mungkin menjual item barang untuk satu harga tertentu bagi pembayaran kontan dan harga yang lebih tinggi bagi pembayaran cicilan. Hal ini tidak Islami, namun praktik keuangan seperti tetap dipraktikkan sampai saat ini. Di samping itu, harus diakui bahwa persoalan pertambahan nilai tersebut dapat dikatakan bunga atau bukan, masih bias (syubhat), baik dari sisi kajian akademis maupun sosiokultural yang sampai saat ini belum sepenuhnya kondusif terhadap kelembagaan keuangan Islam.

Dalam upaya menegakkan iklim yang kondusif, maka gerakan pendidikan dan penyadaran tentang bunga adalah riba yang dilarang syari’ah merupakan keniscayaan. Hal ini merujuk kepada referensi Islam yang ditunjukkan oleh salah satu Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudriy tentang larangan riba fadhl. Bunga didefinisikan sebagai pertukaran terhadap dua komoditi dalam jumlah maupun kualitas yang setara. Dalam hal ini maka larangan terhadap riba bukan hanya berkaitan dengan hutang, penundaan pembayaran atau yang berkaitan dengan nilai waktu lainnya. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa masalah keadilan berada di belakang mengapa riba dilarang oleh Islam. Keadilan tersebut dapat dicapai dengan mengkonpensasikan bagian yang sama dan setara dari nilai barang yang dapat diperkirakan nilai pasarannya pada saat itu. Selanjutnya adalah perlu adanya mekanisme kesepakatan awal (pre-commitment) di mana aturan yang telah disepakati adalah item yang sama untuk dipertukarkan dan harus setara dalam hal jumlah dan kualitas. Jika hal ini tidak dilakukan maka larangan terhadap riba fadhl akan memaksa pedagang untuk membuat mark up pasar terhadap rasio barang yang mereka perdagangkan. Kebutuhan untuk mekanisme kesepakatan awal ini adalah untuk menghindari terjadinya ineffisiensi perdagangan karena kurangnya informasi mengenai nilai harga yang adil dalam pertukaran antara dua komoditi. Disebabkan minimnya teori yang memuaskan tentang bunga dalam ilmu ekonomi modern, maka perkembangan hukum Islam yang melarang riba pada awalnya tidaklah berlandaskan pada teori ekonomi, namun berdasarkan pada norma atau syari’at agama, yang memandang penerapan sistem bunga merupakan representasi dari ketidakadilan (Abbas Mirakhor,1995).

Terhadap argumen yang menyatakan bahwa bunga merupakan imbalan dari sejumlah simpanan atau uang yang ditabung, para pakar muslim memberikan respon bahwa pembayaran bunga seperti itu hanya bisa dirasionalisasi dari sisi kepentingan ekonomi. Jika simpanan atau tabungan itu digunakan untuk investasi yang meningkatkan tambahan modal atau kekayaan, maka ketika seseorang menabung, tabungannya tersebut akan memberikan kontribusi terhadap asetnya. Tetapi di dalam aturannya, si penabung tidak memeliki wewenang untuk mengatur tabungannya akan berputar seperti apa dan seberapa besar tambahan aset/tabungannya. Berdasarkan pendapat terserbut di atas, maka tiadanya pertambahan yang simultan dari investasi baru, baik yang berupa aset maupun hutang menyebabkan simpanan tersebut sebenarnya secara tidak langsung akan beralih kepemilikan tapi tidak akan ada pertambahan kekayaan. Dengan demikian perilaku seperti ini tidak membenarkan hak atas seseorang terhadap bunga.

Terhadap argumen yang menyatakan bahwa bunga sebagai produktivitas atas modal, pakar muslim meresponnya dengan menyatakan bahwa meskipun produktivitas marjinal dan modal dapat berfungsi sebagai salah satu faktor dalam meningkatkan suku bunga, namun presentasi dari suku bunga tersebut tidak memeliki hubungan atau korelasi yang erat dengan produktivitas dari modal. Sedangkan argumen terhadap pandangan bahwa bunga adalah imbalan uang yang ditabung, pihak yang setuju terhadap bunga merespon bahwa suku bunga tersebut dibayarkan sebagai imbalan atas jasa uang yang dipinjamkan atau disimpan, bukan dalam penyertaan modal. Para pakar muslim berargumentasi bahwa hal ini adalah kesalahan dari teori ekonomi modern yang memberlakukan bunga sebagai pengembalian untuk modal dan juga imbalan jasa untuk pengusaha atau pihak yang mentransformasi simpanan yang potensial menjadi penambahan aset yang aktual, meskipun sebenarnya pihak yang meminjamkan tidak melakukan apapun untuk mengkonversi uang menjadi modal dan menggunakannya menjadi produktif. Argumen yang menyatakan bahwa bunga muncul sebagai konsekwensi yang tidak terelakkan dari selisih antara nilai barang kapital saat ini dengan nilainya di tahun yang akan datang, para pakar muslim merespon bahwa hal ini hanya menjelaskan hal-hal yang tidak terelakkan saja dan bukan pada tingkat keakuratan/kebenaran. Hal ini hanya menjelaskan mengapa peminjam berkewajiban untuk membayar bunga dan mengapa pihak yang meminjamkan menuntut pembayaran bunga ini, sementara sebenarnya mereka tidak menghiraukan dan tidak dapat memperkirakan dengan pasti perbedaan nilai barang antara saat sekarang dan masa yang akan datang, maka teori tentang bunga menjadi bersifat abstrak dan tidak realistis. Berdasarkan respon dan argumentasi di atas, para pakar muslim tetap mempertahankan pendapat bahwa ketika seseorang meminjamkan uang, walaupun dana tersebut digunakan untuk menghasilkan aset ataupun hutang melalui investasi dari uang tersebut, namun tetap tidak ada alasan yang bisa dibenarkan bahwa orang yang meminjamkan tersebut berhak menerima sesuatu imbalan dari pengembalian uangnya.

Prinsip dan Produk Bank Syariah

Secara umum terdapat dua bentuk kegiatan utama dalam operasional perbankan syariah, yaitu penghimpunan dana dan penyaluran dana. Tiap bentuk tersebut dapat diuraikan lagi berdasarkan prinsip-prinsip yang mendasarinya.

1. Penghimpunan Dana

Sebagaimana pada bank konvensional, penghimpunan dana di bank umum syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan diposito, sedangkan BPRS hanya dapat melayani tabungan dan deposito. Namun demikian, mekanisme operasional penghimpunan dana ini harus disesuaikan dengan prinsip syari’ah. Prinsip operasional bank syariah yang telah diterapkan secara luas dalam penghimpunan dana masyarakat selama ini adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.

a. Prinsip Wadi’ah

Wadi’ah adalah usaha untuk memobilisasi dana dengan menggunkan prinsip titipan. Secara umum terdapat dua jenis wadi’ah, yaitu wadi’ah amanah dan wadi’ah dhamanah. Wadi’ah amanah adalah harta atau barang titipan yang tidak boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh penerima titipan (safe deposit box), sedangkan wadi’ah dhamanah adalah harta atau barang titipan yang boleh digunakan atau dimanfaatkan oleh penerima titipan.

Dengan demikian terdapat dua jenis cara penghimpunan dana berdasarkan prinsip wadi’ah bi yad al-dhamanah, yaitu giro wadi’ah dan tabungan wadi’ah. Pada penerapan prinsip wadi’ah bi yad aldhamanah, bank dapat memanfaatkan dan menyalurkan dana yang disimpan serta menjamin bahwa dana tersebut dapat ditarik setiap saat oleh pemilik dana. Namun demikian rekening ini tidak boleh mengalami saldo negatif (overdraft). Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana akan menjadi hak milik atau ditanggung oleh bank, sedangkan pemilik dana tidak memperoleh imbalan atau menanggung kerugian. Manfaat yang diperoleh pemilik dana adalah jaminan kaeamanan terhadap simpanannya serta fasilitas-fasilitas giro dan tabungan lainnya. Bank dapat memberikan bonus kepada pemilik dana damun tidak boleh menjanjikannya di muka, yaitu ketika akad. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah.

b. Prinsip Mudharabah

Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana, prinsip mudharabah dibedakan menjadi dua, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsip mudharabah muthlaqah dapat diterapkan dalam pembukaan rekening tabungan dan deposito, sehingga tedapat dua jenis dalam penghimpunan dana berdasarkan prinsip ini, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Ada empat ketentuan yang harus dipatuhi dalam menerapkan prinsip mudharabah baik yang berlaku untuk tabungan maupun deposito, yaitu:

1) Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberian keuntungan dan atau perhitungan pembagian keuntungan serta resiko yang dapat timbul dari penyimpanan dana.

2) Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.

3) Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati, namun tidak boleh mengalami saldo negatif (overdraft). Deposito yang diperpanjang setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis, maka tidak perlu dibuat akad baru.

4) Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tabungan dn deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah. Mudharabah muqayyadah merupakan jenis simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank. Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut:

a) Pemilik dana menetapkan syarat penyaluran dana. Untuk itu bank wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus ini.

b) Sebagai tanda bukti simpanan, bank menerbitkan buku simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening simpanan khusus supaya tidak bercampur dengan dana dari rekening lainnya. Dana khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.

2. Penyaluran Dana

Dalam penyaluran dana, bank syariah harus berpedoman kepada prinsip kehatihatian. Sehubungan dengan ini, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan penyaluaran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah. Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar terdapat empat kelompok prinsip operasional syari’ah, yaitu prinsip jual beli (bai’), sewa beli (ijarah), bagi hasil (syirkah) dan pembiayaan lainnya.

a. Prinsip Jual Beli (Bai’)

Prinsip jual beli meliputi murabahah, salam dan istishna’. Prinsip murabahah umumnya diterapkan dalam pembiayaan pengadaan barang investasi. Skim murabahah sangat berguna bagi seseorang yang membutuhkan barang secara mendesak tetapi kekurangan dana. Ia kemudian meminta kepada bank agar membiayai pembelian barang tersebut dan bersedia menebusnya pada saat barang diterima. Salam adalah pembelian barang untuk pengantaran (delivery) yang ditangguhkan dengan pembayaran di muka. Salam dalam perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek untuk produksi agribisnis atau industri sejenis lainnya. Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad, maka produsen harus bertanggungjawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti dengan barang yang sesuai pesanan. Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory). Istishna’ menyerupai salam, namun istishna’ pembayarannya dapat di muka, dicicil atau di belakang/kemudian. Skim istishna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiyaan manufactur, industri kecil dan konstruksi.

b. Prinsip Sewa Beli (Ijarah Wa Iqtina’ atau Ijarah muntahiyyah Bittamlik)

Ijarah wa iqtina’ atau ijarah muntahiyyah bittamlik adalah akad sewa menyewa suatu barang antara bank dan nasabah di mana nasabah diberi kesempatan untuk membeli obyek sewa pada akhir akad. Dalam dunia usaha pola perjanjian ini dikenal dengan financial lease. Harga dan sewa beli ditetapkan bersama pada awal perjanjian.

c. Prinsip Bagi Hasil (syirkah)

Secara prinsip dalam perbankan syariah yang paling banyak dipakai adalah akadutama: al-musyarakah dan al-mudharabah, sedangkan al-muzara’ah dan al-musaqah dipergunakan khusus untuk plantation financing atau pembiayaan pertanian oleh beberapa bank Islam. Al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan Al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan 100% modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut akibat kecurangan atau kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut.

Beberapa bentuk produk yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah musyarakah, mudharabah mutlaqah, dan mudharabah muqayyadah. Pengaplikasian musyarakah dalam perbankan, umumnya untuk pembiayaan usaha di mana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Semua modal dicampur untuk dijadikan modal usaha, dan manajemennya pun dikelola bersama-sama. Dalam pengimplementasian produk mudharabah muthlaqah, jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus berupa uang tunai dan apabila modal diserahkan secara bertahap diperhitungkan dengan cara perhitungan dari pendapatan royek (revennue sharing) dan dari perhitungan keuntungan proyek (profit sharing) Karakteristik mudharabah muqayyadah pada dasarnya sama dengan persyaratan mudharabah mutlaqah, perbedaannya adalah pada penyediaan modal yang hanya untuk kegiatan tertentu dan dengan syarat yang sepenuhnya ditetapkan oleh bank.

Secara ringkas di sini dapat dikemukakan produk-produk bank yang ditawarkan bank syariah sebagai berikut:

NO

PRODUK / JASA

PRINSIP SYARIAH

1

Giro

Wadi’ah Dhamanah

2

Tabungan

Wadi’ah Dhamanah dan Mudharabah

3

Deposito

Mudharabah

4

Simpanan Khusus

Mudharabah Muqayyadah

5

Dana Talangan

Qardh

6

Penyertaan

Musyarakah

7

Sewa Beli

Ijarah Muntahiyyah bittamlik (Ijarah wa Iqtina’)

8

Pembiayaan Modal Kerja

Mudharabah atau Murabahah

9

Pembiayaan Proyek

Mudharabah atau Musyarakah

10

Pembiayaan Sektor Pertanian

Bai’ al-Salam

11

Pembiayaan Untuk Akuisisi Aset

Ijarah Muntahiyyah bittamlik

12

Pembiayaan Eksport

Mudharabah, Musyarakah dan Murabahah

13

Anjak Piutang

Hiwalah

14

1 Letter Of Credit (L/C)

Wakalah

15

Garansi Bank

Kafalah

16

Inkaso Transfer

Wakalah dan Hawalah

17

Pinjaman Sosial

Qardh al Hasan

18

Surat Berharga

Mudharabah, Qardh, Bai’ al-Dayn

19

Save Deposit Box

Wadi’ah Amanah

20

Jual Beli Valas

Sharf

21

Pegadaian

Rahn

Kesimpulan

Perbankan syariah adalah perbankan yang beroperasi atas dasar prinsip-prinsip syari’ah. Prinsip syari’ah merupakan aturan dasar atau pokok yang berdasarkan hukum Islam. Saat inipun di Indonesia telah banyak Bank Syariah dan Unit usaha syariah dari bank konvensional. Sampai Mei 2008 terdapat 3 bank syariah dan 28 unit usaha syariah, tahun ini diperkirakan ada 3 bank syariah baru yaitu BRI Syariah, Permata Syariah dan CIMB Niaga Syariah. Hadirnya perbankan syariah ini adalah karena perbankan yang ada saat ini menerapkan system bunga yang selain itu termasuk riba, juga sangat jauh dari nilai-nilai keadilan islam. Perbankan syariah memberikan pilihan yang lebih baik dan lebih islami bagi umat muslim dalam kegiatan keuangannya. Banyak produk yang ada di bank konvensional saat ini telah dimiliki oleh bank syariah tentu dengan akad dan pelaksanaan yang lebih islami. Sehingga bagi umat islam, perbankan syariah ini adalah pilihan yang tepat untuk kehidupan yang lebih baik.

Daftar pustaka

Antonio, Muhammad Syafi’i, (2001), ”Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik”, Jakarta, Gema Insani Pers.

Al Qur’an terjemahan

Bank Indonesia dan IPB, (2004), ”Potensi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat terhadap Bank Syariah di Wilayah Kalimantan Selatan” dalam www.bi.go.id

Budi Setiawan, Aziz., (2006) ” Perbankan Syariah; Challenges dan Opportunity Untuk Pengembangan di Indonesia”, Jurnal Kordinat, Edisi: Vol.VIII No.1, April 2006

Capra, M. Umer, (2000) “Sistem Moneter Islam”, Edisi terjemah, Jakarta: Gema Insani Press & Tazkia Cendekia

Direktorat Penelitian Dan Pengaturan Perbankan BI, (2000) Ringkasan Pokok-Pokok Hasil Penelitian: “Potensi, Preferensi Dan Perilaku Masyarakat Terhadap Bank Syariah Di Pulau Jawa”, Jakarta. Bank Indonesia

Le Bishawaab. Edisi: 1I/V - 8 Jumadil Ula 1428 H / 25 Mei 2007. LEBI FEB UGM

Schaik, D.( 2001), “Islamic Banking”, The Arab Bank Review, 3 (1): hal. 45-52.

Sudarsono, H., (2004), Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi, Penerbit Ekonisia: Yogyakarta.

Karim, Adiwarman, (2004) ”Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan”, Jakarta, Rajawali Pers.

Syahyuti, (2005) ” Review dari sepuluh penelitian tentang perbankan syariah” Bank Indonesia

Statistik Perbankan Syariah, Mei 2008, Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia, 2008.

Tim BEINEWS, (2004), “Apa Itu Bank Syariah”, BEI NEWS Edisi 18 Tahun V, Januari- Februari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar